Kamis, 09 November 2017

Tentang yang Tak Dikata

Sepanjang Hari
Pagi itu mentari berdiri malu-malu
Burung-burung pun berkicau tak merdu terpesonamu
Siang itu mawar-mawar sepakat melayu
Wajah langit pun seakan tak biru tergilaimu
Sore ini rembulan cemas tunggui
Hanya cahayamu tak abadi
Kutatapmu, oh, bergeletar tubuhku
Kau aksara di lisanku

Malam ini sudikah kau jadi bunga di tidurku?
Biar gelap tertunduk cemburu
Sampai jangkrik bisu
Malam ini akankah kau sejenak lebur di mimpi?
Hingga embun menciumi hari
Hingga fajar lagi

“Cinta adalah pagi riuh tanpa kicau; siang teduh tanpa mendung; malam terang tanpa bintang. Cinta adalah ketidakmungkinan yang mungkin.”
M
atahari pagi-pagi malu-malu berdiri di sebuah taman yang tak perlu disebutkan di mana atau kapan. Semua tak aneh rasanya. Termasuk telinga yang sepi dari kicau-kicau. Mungkin burung-burung sedang terserang batuk; atau pergi ke sawah mencari nafkah; atau, bisa saja, mereka belum bangun tidur. Di situ, aku berbagi bangku dengan secangkir kopi dan tutupnya seperti hari-hari yang belum-belum; kopi dengan sedikit gula sebab diabetes jelas menakuti siapa saja. Mendadak, di antara mawar-mawar bertumbuhan, berjalan seorang perempuan. Aku terperanjat. Mataku terjerat. Ada sempat aku lupa diri beberapa saat. Sebab, seperti tiap ayun kakinya; tiap senti langkahnya menggandengku turut jua. Tapi tidak, tentu saja. Aku masih duduk di bangku yang sama; tak bergeser seberapa pun. Sama pula cangkir kopiku itu. Hanya mataku, yang memang, tak hentinya bergerak menuruti ke mana perempuan itu langkahnya mengarah. Aku semacam terpesona. Tapi jika ungkapan itu terbaca agak berlebihan, katakanlah saja aku tertarik.
Ada satu kali menoleh ia kepadaku. Kali kedua dibuatnya lupa diri aku. Sampai ia palingkan muka, tiada senyum di mukaku yang tampak selain gurat bingung yang itu pun nyaris tidak. Aku berkata-kata pada kepalaku; kata-kata pertanyaan, “Mawar jenis apa yang tak berduri barusan? Bulan mana yang selagi terang telah berdandan?” Lalu ia menepi dari pandangan; menghilang ditenggelamkan jarak.
Bersama lamunan, bulan yang asli naik tinggi tapi tak kupandangi. Karena, tetap tak ada jawaban yang kutemui. Tadi itu kali pertama aku melihatnya. Namun wajahnya terekam jelas lewat mataku entah mengapa; tersimpan rapi di otakku entah di mana. Aku ingin ada yang menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Lebih baik lagi, perempuan itu menjawab sendiri lewat bibirnya yang seindah bibir pantai impian pengantin baru. Tapi apa daya? Ia tak tinggalkan nama, bahkan tidak harum aromanya. Harapanku, andai pun di taman itu ia tak dua kali berlalu, sudilah kiranya ia bertamu saat aku tidur; menemaniku sampai bumi basah dicium embun. Di dalam mimpi, mauku ia dan apa pun ketidakmungkinan melebur.
  
Terpesona Bunga
Menujumu rembulan t’lah s’ribu kali merayu
Mentari ‘tuk pulang ke rumah
Menujumu butuh banyak waktu
Pikirkanku seperti menguras habis akalmu
Kering otakmu tanpa logika
Pikirkanku tundukkan nalarmu

Andai nanti kelopakku layu
Engkau tetap kupu-kupu
Sampai nanti hinggap di daunmu
Tuhan, cabut saja sayapku

Khayalkanmu sesulit menuliskan sebuah lagu
Kosong otakku tak kenal nada
Khayalkanmu penjara imajiku
“Menunggu adalah tentang waktu. Waktu adalah tentang angka. Angka adalah tentang matematika. Sayang, matematika kerap terlalu rumit.”
A
ku tetap tak temukan jawabanku. Kendati berhari-hari telah pergi; bermalam-malam telah tenggelam, bulan tak kunjung membawanya serta, perempuan pengusik kepala, ke dalam bangun dan tidurku. Beberapa kali kuhela nafas panjang. Sudah pasti pertanda putus asa mulai mendekat datang. Gairah yang terbakar barang mungkin sudah jadi arang. Tapi tak patah kali itu. Belum, setidaknya. Aku putuskan menemukannya lewat mencari sebab tak ada yang lebih hina dari menunggu tanpa berpasti. Di taman itu, setiap pagi aku berlomba dengan kupu-kupu siapa yang dapati bunganya terlebih dahulu. Sepahamku tak ada yang kebetulan, jadi terus ia kutunggukan dalam duduk bertopang keyakinan. Tapi, tak tahu harus menulis ‘sayang’ atau ‘malang’ bunga yang kumaksud tak jua datang. Perempuan itu masih hilang dalam tenang. Padahal habis sudah jari kupakai menghitung penungguan. “Hah!Benar memang dikata orang bahwa kesempatan jarang dua kali datang. Tertunduk kepalaku kepalang malang.
Hari-hari berlanjut. Khayalan tentangnya tambah menyerabut. Semakin tak sadar, seolah sepasang sayap menumbuhi punggungku disusul dua antena dari kepalaku. Aku tetiba haus nektar lalu mencari obat dahaga pada putik dari bunga yang tentu saja mauku perempuan di taman pagi itu. Ia masih tak diketemukan. Aku menutup mata berpesan pada Tuhan. Bila pun nanti kami dipertemukan, aku rela jadi kupu-kupu yang copot sayapnya agar ia jadi bunga terakhir tempat aku menggantungkan segala harap; segala dahaga yang merayap.
Di dalam pejam, banyak skenario yang ku-drama-kan tentang, katakanlah kisah cinta, sepasang manusia yang saling tak kenal. Namun, kian tak sebentar, semuanya kian redup.  Membayangkannya yang semula begitu mudah, jadi begitu sulit. Wajahnya samar teringat. Seperti ada virus yang menyelinap masuk ke pusat kerja otakku lalu diam-diam mencuri datanya atau mengubahnya dari ada menjadi tiada. Tak pernah kubayangkan mencipta lagu tanpa mengenal nada. Sama bodohnya seperti itu.
  
Tuhan Maha Romantis
Bukan, bukan…
Bukan tiada inginku mencari pelabuhan lain selain dirimu
Hanya hatiku masih tercuri
Tak dikembalikan
Tak dikembalikan
Bukan, bukan…
Bukan tiada sanggupku menyemai benih bunga lain selain hatimu
Hanya wangimu masih selimuti
Belum hendak hilang
Belum hendak hilang

Tuhan Maha Romantis
Dianginkannya engkau di hatiku yang kekeringan
Tuhan Maha Romantis
Disepertikannya kau terang di hatiku yang kegelapan
 
“Dari sekian banyak manusia, berjuta hitungannya, kita yang dipersuakan. Lalu bagian mana dari kebetulan yang ambil bagian? Ini Tuhan, Pujaan.”
R
iuh rendah kokok ayam menyadarkan dari pejam. Kokok parau penanda pagi yang kepagian. Entah mengapa masih tanpa kicau. Aku tetap tak hirau sebab, terang saja, terpukau. Lalu, samar seperti terdengar bisikan di telinga kanan; bisikan tentang mengakhiri penantian, membunuhi harapan, menghapusi khayalan. “Tapi bagaimana mengakhiri yang belum dimulai? Bagaimana membunuh yang belum dilahirkan? Bagaimana menghapus yang belum tertulis?”
Beruntung gundah itu tak lama. Tuhan, dengan nama dan adab sembah yang bagaimana pun, benar adanya maha segala-gala; tak kecuali maha romantis. Itu hari, hatiku yang kerontang gersang oleh kemarau penungguan dan pencarian dengan mudahnya Ia ber-angin-kan. Adalah perempuan itu, yang di taman waktu lalu, yang jadi siutnya. Sebuah dunia tak nyata, persegi awam rupanya, mempertemukan kami tanpa rencana. Seketika harapan yang mulai mati bak ditiupkan nyawa kedua. Di sana, kami mulai bertukar sapa sampai akhirnya bercakap-cakap tak mesra lewat jari dan jari saja.
Bahasa jemari makin intim hanya saja alasan bagi mata bertemu mata masih minim. Namun, akhirnya, sehabis begitu lama, 26 Desember 2012 kami sungguh diperjumpakan dalam satu jajar pandang di antara pepohonan natal yang sedang rindang-rindangnya. “Amboi!” Rambutnya yang dihembus angin, aku yang rasa sejuk-teduhnya. Ia lagi-lagi menatap ke arahku dengan tatapan serupa peluru. Rasanya seperti jantung dirobek-robek hingga tercekat nafasku. Perempuan itu, yang muncul di antara bunga-bunga dulu; yang meracun mimpi selalu, Amira namanya.
Bertepatan hari itu, berbungkus-bungkus kado tersusun rapi di rumahku, di bawah pohon rendah berhias biji-biji lampu. Hanya semua seakan palsu kecuali satu. Tuhan, lewat takdir-Nya, khusus menghadiahiku sekado yang tanpa pita, berdiri cantik di muka mata. Sembari tersenyum, kubiarkan ragaku menikmatinya. “Tuhan Maha Romantis, Amira. Disepertikannya engkau terang di hatiku yang kegelapan.”
  
Gadis Pas-Pasan
Aku penyuka engkau sederhana berbedak
Aku penyuka engkau bergincu nyaris tidak
Tiada yang engkau lebihkan
Secantik kau diciptakan
Aku menyuka engkau yang lahap saat makan
Aku menyuka engkau hampir tanpa wangian
Tiada yang engkau lebihkan
Namun mataku tertawan

Gadis Pas-Pasan tak berteman riasan
Wajarlah sukaimu
Matamu peluru muara perindu
Gadis Pas-Pasan seadanya menawan
Wajar jatuh hatiku
Namunku tak mampu jatuhku terlalu

Aku terpikat engkau nyanyikan apa saja
Aku terpikat engkau pada segala warna
Tiada yang engkau lebihkan
Sempurna kau diturunkan
“Manusia selalu bisa jatuh hati meski dalam buta. Cinta, rasa yang melekat di semua indera.”
I
a dan aku, kami, semakin dekat dalam jarak; semakin akrab dalam tawa yang bergelak. Dari situ, setiap senyum dari sepasang bibir pucat pasinya terus kunikmati. Umpama memandangi kelopak melati yang tak perlu jadi merah atau kuning atau nila untuk terlihat indah.
Sesekali kudapati bayanganku memantul dari sedikit bagian wajahnya yang mengkilap tak tersapu bedak. Terbaca sedikit menggelikan, mungkin. Perempuan itu, Amira, berias seadanya saja; pas-pas saja. Mungkin karena tahu persis ia telah sebegitu cantik dalam ciptaan atau, mungkin juga, sebab ia sadar bahwa sebaik-baik anugerah adalah apa saja yang Tuhan komposisikan. Entahlah. Aku hanya tak ingin pungkiri bahwa ia memang memikat dengan atau tanpa riasan menempeli mukanya.
Tapi yang paling menghanyutkan belum terjadi. Ada satu kesempatan pertemuan, ia tampil di mukaku sedikit berlebihan. Bibirnya agak tebal kemerahan. Pipinya terlihat merona, tak tahu habis berapa pemerah pipi ia sapu atau memang karena sedang tersipu, yang tentu ia lebih menawan dari biasanya. Ia menyambutku dengan senyuman kecil, berjalan ke depan, menuju aku yang terperangah setengah percaya ia adalah Amira yang kukenal.
Rupanya itu belum seberapa. Rupa-rupanya tak cukup hanya mataku yang ia jerat, telingaku juga. Amira tak jarang bernyanyi. Itu terjadi berulang-ulang kali. Namun yang paling menjejakkan kesan ialah saat dimanjakannya telingaku yang acapkali lelah mendengar gerutuan-gerutuan, keluhan-keluhan, dengan sebuah lagu kesukaan. Aku benar sedang jatuh hati. Aku hanya belum punya cukup nyali. Tapi, semengertiku, Tuhan rahasiakan sesuatu di balik tiap tetesan hujan seperti Ia sembunyikan sebegitu baik rahasia-rahasia di balik sorot mata perempuan. Maka itu tak kuungkapkan. Takutku hatinya belum jatuh, masih tinggi.
Aku jalani beratus hari menerka-nerka sebisa mungkin lewat mata isi hatinya tanpa berkata, sungkan bertanya. Pernah memang beberapa kali kudapati dari sorot matanya ia pun sedang jatuhkan cintanya padaku. Tapi lakunya tak begitu. Tak sekali pun pernah ia beri tunjuk perlakuan seorang insan yang sedang menikmati badai asmara padaku. Seketika aku teringat perkataan Bapakku bahwa laki-laki harus memulai sesuatu lebih dulu. Aku pun begitu; tak ingin lebih lama mengibaratkan kami seperti dua ekor burung yang setiap pagi bercengkrama pada dahan yang sama tapi pulang tidak pada satu sarang. Menurutku ada yang mesti kami ikat. Biarlah hanya sesaat. Setidaknya ada kenangan yang kelak akan melekat dan terus diingat.
Setelah nyali kukumpulkan, malu kuketepikan, cinta kutanyakan. Ia lalu memberi jawaban persis seperti yang pernah kubayangkan. Hatinya pun jatuh. Hanya, ia terlalu takut membiarkannya terikat. Perempuanku yang pas-pasan termakan bicara orang tentang neraka cinta dalam perbedaan.Kendati sebenarnya ada banyak yang sanggup kujelaskan tapi buah kecewa telah kandung kumakan.
  
Perempuan Hati Peluru
Di antara mata, berjuta yang ada, kau sungguh berbeda; menatap biasa
Tapi jerat pandangku
Rajutkan hayalanku
Di tengah bicara, tajam bagai panah, kau berdiam saja; tak berkata-kata
Tapi pikat hatiku
Ranumkan harapanku

Perempuan Hati Peluru, secepat itukah jatuhkanku?
Aku bahkan belum berdiri
Tapi t’lah kehilangan kaki

Perempuan Hati Peluru, semudah itukah membunuhku?
Aku bahkan belum terlahir
Tapi lebih dulu tersingkir
 
"Agama tidak bisa mengatur saat seseorang itu jatuh cinta. Cinta jatuh di mana pun ia mau."
-Beda Tapi Cinta-
A
mira dan keragu-raguan bagai telinga dan suara; sukar dipisahkan. Selepas hari cinta kami bincangkan, aku tak lantas diam. Berulang-ulang kali ia coba kuyakinkan, berulang-ulang kali pula ia persoalkan keyakinan. Padahal, di negaraku, yang disebut keyakinan awamnya adalah warisan bapak dan ibu. Mereka yang memilih hanya mereka yang terpilih. Selebihnya akan terus mengimani sampai rambut memutih dan berbungkus kain putih. Tapi, betul adanya bila hidup memang kadang seperti perlombaan di mana orang lain mengambil peran sebagai pengadil yang memberi penilaian dan menjatuhkan hukuman seolah kaki tangan Tuhan. Ironis memang. Tapi dunia, menurut sebagian pemuja nada, adalah panggung sandiwara. Mungkin aku sedang memainkan sebuah pertunjukkan yang buruk, menurut orang lain.
“Mengapa manusia mempermasalahkan perbedaan sedang Tuhan menciptakan laki-laki untuk perempuan dan berlaku kebalikan?” Aku bertanya. Ia jawab hanya dengan menatap.“Ah!” Ingin rasanya ia kubawa ke tengah hutan lalu sebuah gubuk sederhana kubuatkan. Biar kami tinggal hanya berdua. Biar kami mendengar hanya anjing dan lain-lain binatang yang bicara. Sebab mereka tak pernah akan usil soal agama. Sebab mereka paham benar iman hanyalah perkara apa yang kita percaya.
Hati-hati! Hati memang tak lebih dari segumpal darah berukuran kepal tangan Bapakku. Tapi memecahkan perkaranya terang saja tak semudah itu. Kubujuk Amira untuk menutup mata dan biarkan aku jadi penuntun langkahnya. Saat ia bersedia, bising bicara orang lebih lantang dari biasa. Mereka teriaki kami tiada pujian selain cacian; tiada dukungan selain kungkungan. Kemudian kupinta ia tutup telinga. Saat ia ingin tak mendengar, malah matanya yang terluka tersuguhi kenyataan-kenyataan tentang derita siapa saja penanam benih cinta pada dua sisi aliran sungai seperti kami; mereka-mereka yang mati sebelum sempat melihat benih itu berbunga. Dan, ia menggeleng.
Ada gempa di hatiku. Amira membunuhku; membunuh hati yang terpikat oleh matanya yang menatap biasa saja; yang terjerat oleh bahasa yang hampir tak ada. Adakah harapan-harapan lalu adalah palsu? Tidak! Ia bukan pembunuh. Sedari awal ini jelas bunuh diri. Aku telah hilang kaki sebelum berdiri atau tersingkir sebelum lahir.
Perasaan kami seperti terperosok dalam palung kebingungan berisi gaung-gaung kemungkinan yang menjebak. Hanya ‘yakin’ kami yang tak bergerak terbendung tembok pemisah yang mengakar tinggi tegak. Mereka panggil itu agama namanya. Lalu, berdasar amat banyak pertimbangan pula kesiapan bertemankan kesepian dan penyesalan, ia kutinggalkan. Kuberi ruang kupu-kupu lain, yang lebih lebar sayapnya, untuk hinggap dan menetap. Sebutlah aku pengecut!

Romansa Manusia
Nyanyikanlah untukku senandung pikatmu
Di bawah rimbun perdu
Jemputkan nyenyakku
Kau piara doa-doa dosa
Kau piara pelita

Dongengkanlah, Pujaan, romansa manusia
Di batas rumah Tuhan
Dinding tanpa jalan

Lukiskanlah untukku rimba di tawamu
Di muka senyum Ibu
Lengkapkan surgaku
Kau piara doa-doa dosa
Kau piara pelita

Dongengkanlah, Pujaan, romansa manusia
Di batas rumah Tuhan
Dinding tanpa jalan
Puisikan, Pujaan, sajak perpisahan
Di kernyit dahi insan
Tentang perempuan
“Jangan sepasang insan berpuisi di bawah hujan atau kelak mereka tak akan saling tahu tentang tangisan yang disembunyikan.”
D
alam sepi dan pilu hati, rindu menjelma jadi belati; mengiris-iris si urat nadi; menyakiti menjadi-jadi. Aku yang berharap cinta perlahan mati nyatanya tak benar sama sekali. Semakin lewat hari dan hari, dari dalam kepalaku ia tak kunjung pergi. Aku lari bukan lari. Jurang pembeda, sebesar apa pun itu, tentu mampu kuseberangi. Aku hanya berpikir untuk apa bermandikan keringat mengupayai andai di sisi lain sana tak ada yang sudi menanti. Itu tak kurang dari bunuh diri. Aku takut di neraka nanti oleh api aku dijilati.
Bunyi-bunyi yang tiada, ramai-ramai yang tak nyata selalu menemaniku sejak saat itu; saat kami putuskan saling merelakan genggaman pada keputusasaan. Berserah takdir pada Tuhan? Bukan! Lebih mirip keledai-keledai dungu yang tetap makan semasa dikejar macan.
Yang di pikiranku, kisah ini seperti dongeng-dongeng yang sering digunjingkan orang-orangtua dari dalam buku-buku penuh debu atau dari layar kaca. Kisah romansa sepasang pewaris tahta dari dua kerajaan yang berbeda yang saling tak sepaham. Hanya saja tiada perang dan pedang di sini, di kisah kami. Bisa pula cerita tentang kisah cinta beda kasta antara seorang lelaki buruh kerja dan puteri raja nan cantik jelita. Tapi sejauh yang kudengar, dongeng itu selalu berakhir dengan kesukaan. Dua kerajaan bersanding dalam ketidaksepengertianan. Sayang,dongeng hanya buaian bualan-bualan. Dalam kenyataan tentu tak akan semudah pengharapan.
Setiap waktu-waktu yang lalu bersama Amira tak mau begitu saja lenyap dimakan hari kubiarkan. Kutuliskan semuanya, setiap detilnya, dari senyumnya yang pertama hingga senyum terakhirnya yang memenjara, untuk di kemudian kesempatan kubaca lagi. Kupuisikan seperlunya, kulagukan beberapa; berharap suatu waktu seseorang menyanyikannya meski sembari tak tahu apa-apa. Ironis! Aku sampai-sampai lupa bahwa sebetulnya aku sedang mencoba untuk lupa. Aku tak ingat kalau aku tak ingin terus mengingat. Sepengertianku, salahku adalah hatiku jatuh keterlaluan. Mungkin juga sayap harapanku terbang ketinggian.
  
Halte Usang & Seorang Bujang
Sebuah halte usang tempat menunggu
Duduk s’orang bujang menggenggam rindu
Kekasih hatinya tak datang
Gemetar bujang bertahan
Sebuah halte usang gudang harapan
Hanyutkan kenangan terguyur hujan
Kekasih hatinya belum datang
Tersapu angin menghilang

Menanti ia pada siang
Tak henti walau hilang terang
Merpatinya t’lah jauh terbang
Melangit tanpa terpandang

Sebuah halte usang tempat menunggu
Terduduk s’orang bujang masih merindu
Kekasih hatinya takkan datang
Sebab t’lah didekap orang

Kekasihnya tak akan datang
Sebab t’lah didekap orang
Kekasihnya tak akan datang
Sebab t’lah didekap orang
“Ia, yang pergi lagi, mungkin tak pernah benar-benar datang. Ia, yang datang lagi, tentu tak pernah benar-benar pergi.”
E
nggan beraniku untuk bertemu bertamu, jadi yang kulakukan cukup menunggu; menunggu yang aku juga tak tahu. Mungkin kembalinya ia yang kutunggu. Atau, terjeratnya lagi aku pada sosok perempuan lain yang melintas dan membuat diri rela terpaku.
Keputusan waktu itu anggaplah badai yang memporak-porandakan kami berdua; menyisakan duka dan deritanya. Tapi laki-laki adalah laut, sedang perempuan seperti perahu layar yang menggantungkan harap pada cuaca. Maka itu aku diam; duduk gemetar pada bangku kenangan yang bertambah usang sembari menggenggam erat-erat rindu yang bahkan sebelah tangan pun bertepuk tak mampu. Kubiarkan ombak leluasa mengombang-ambing. Ke mana arahnya tak lagi penting sebab mungkin saja lebih baik aku berakhir sinting. Barangkali memang perlu lebih dari kata ‘kasihan’ agar keadaan ini mampu dengan jelas kugambarkan.
Selama penungguan, waktu datang bagai sekawanan rinai hujan. Semakin lama diam, semakin deras turun menyerbu. Digenanginya keterpurukanku. Dihanyutkannya harapanku jauh-jauh. Mereka seperti berkata, “Hei, Kau, Bujang Tak Berteman, apalah lagi yang kau tunggui? Ia tak akan datang lagi. Ia bahkan tak pernah tahu ada yang menanti.” Rasanya ingin murka aku pada pikiranku sendiri. Tapi ia jelas belum pasti salah. Amira yang jauh luput dari mata mungkin saja sedang tersenyum menulisi cerita anyar bersama seorang pria yang keberuntungannya lebih kekar. Dan, celakanya, ternyata itu benar. Dari sebuah kabar yang mungkin disampaikan burung pada seseorang, seorang teman membunuhku; harapanku, lebih tepatnya. Seorang laki-laki telah di sana, duduk di tempat yang mau tak mau dulu harus kutinggalkan. Wajar terbaca memang. Sebagai perahu layar, ia tentu harus tegar di hadapan ombak. Ia harus tetap mendermaga atau kehabisan tenaga lalu berakhir tenggelam bersama lukanya yang akan kian memedih. Saat aku ingin pulang, rumahku disita orang. Waktu. Ia adalah kesombongan yang paling sombong; yang selalu ditunggu tanpa pernah akan menunggu; yang selalu menemaniku dan sekaligus membunuhku.
  
Lapar Mata
Nanti, saat kita sudah menautkan janji disaksikan Tuhan, butakan mataku
Nanti, saat hanya namamu di denyutan nadi, bisikkan pada Tuhan tulikan telingaku
Tak ingin kumelihat
Tak ingin kumendengar
Karena melihat adalah kelaparan yang sesungguhnya
Aku memilih buta agar tak lagi terpana
Karena mendengar adalah kehausan yang sesungguhnya
Aku tak mau tergoda hijaunya rumput tetangga
Karena kupunyamu
Karena kupunyamu
Karena kupunyamu
Nanti, saat kita lelap berlangitkan bumi
 
“Badai menyisakan hanya pohon terkuat. Mungkin untuk meleluasakannya sendirian menikmati pelangi.”
T
akdir adalah benar adanya rahasia di atas rahasia. Berpuluh-puluh pilu berlalu. Setahun lewat. Lalu tujuh bulan lagi. Kemudian tiga puluh kurang satu hari. Saat itu kuputuskan sebenar-benarnya berhenti. Apa-apa tentang perempuan yang hatinya peluru itu biar saja kusimpan rapi. Aku mau ia sedapatnya akan terkenang sebab tentu tak ada kenangan yang mampu diulang kecuali merelakan bibir mata tergenang. Cukuplah. Kali ini telah tak ada lagi luka.
Aku senang badai telah hilang. Aku tenang ia telah senang. Hari-hari yang lewat, jelas akan kuingat. Aku hanya lupa satu hal; sering waktu ada pelangi setelah badai pulang ke peraduannya. Dan, benar saja. Bersama dengan tenangnya cuaca hati, ada pelangi mendekat mendatangi. Tapi itu hanya untukku seorang. Tepat di mataku, ia berpendar.
Amira juga rupa-rupanya terus menanti; menanti untuk, dengan hati yang lebih kuat, datang lagi. Hari itu ia yakin sepenuhnya. Ia bawa semuanya. Bahkan masih terlalu banyak sehabis ia membagikannya padaku. Aku tahu ia tengah pasrah; memasrahkan hatinya. Yang sebegitu lama tinggal di mimpiku, hari itu bangun dari tidurnya. Aku seperti ingin tak lagi lelap agar tak ada mimpi yang lebih indah. Aku seperti ingin buta agar tak melihat yang lebih memukau. Aku seperti ingin tuli agar tak ada lagi ragu bermain di daun telinga.

Amira
Sudah terlalu lama mereka menikmati jadi hakim kita; sutradara kita
Mungkin sudah waktunya naskah kita buka tentukan tokoh kita; hargai hati kita

Tutup telinga, Amira
Mendengarlah dengan dada
Biar getar yang bicara
Kata-kata, suara-suara membunuh kita
Takdir di depan, Amira
Esok masih rahasia
Mereka bukan siapa-siapa

Jika benar dunia panggung sandiwara, berperanlah kita
Demi kisah kita
“Jika benar dunia panggung sandiwara, maka sudah tentu Tuhan yang Maha Sutradara.”
A

ku Wendi. Khusus di bagian ini, sengaja tak kutulis banyak kecuali terima kasih pada ia, Amira, yang selalu menyisakan cerita untuk kuceritakan lagi bagaimana pun bentuknya.

1 komentar:

  1. Grand Sierra Resort Casino & Spa - MapYRO
    Search for 전라북도 출장샵 Grand Sierra 논산 출장안마 Resort Casino & Spa in Wyandotte, NY, USA with 용인 출장마사지 MapYRO. Grand 삼척 출장샵 Sierra Resort Casino and Spa is located 광명 출장안마 in Wyandotte, NY and is open daily 24 hours.

    BalasHapus