Sepanjang Hari
Pagi itu mentari berdiri malu-malu
Burung-burung pun berkicau tak merdu terpesonamu
Siang itu mawar-mawar sepakat melayu
Wajah langit pun seakan tak biru tergilaimu
Sore ini rembulan cemas tunggui
Hanya cahayamu tak abadi
Kutatapmu, oh, bergeletar tubuhku
Kau aksara di lisanku
Malam ini sudikah kau jadi bunga di tidurku?
Biar gelap tertunduk cemburu
Sampai jangkrik bisu
Malam ini akankah kau sejenak lebur di mimpi?
Hingga embun menciumi hari
Hingga fajar lagi
…
“Cinta adalah pagi riuh tanpa kicau;
siang teduh tanpa mendung; malam terang tanpa bintang. Cinta adalah
ketidakmungkinan yang mungkin.”
M
|
atahari pagi-pagi
malu-malu berdiri di sebuah taman yang tak perlu disebutkan di mana atau kapan.
Semua tak aneh rasanya. Termasuk telinga yang sepi dari kicau-kicau. Mungkin
burung-burung sedang terserang batuk; atau pergi ke sawah mencari nafkah; atau,
bisa saja, mereka belum bangun tidur. Di situ, aku berbagi bangku dengan
secangkir kopi dan tutupnya seperti hari-hari yang belum-belum; kopi dengan
sedikit gula sebab diabetes jelas menakuti siapa saja. Mendadak, di antara
mawar-mawar bertumbuhan, berjalan seorang perempuan. Aku terperanjat. Mataku
terjerat. Ada sempat aku lupa diri beberapa saat. Sebab, seperti tiap ayun
kakinya; tiap senti langkahnya menggandengku turut jua. Tapi tidak, tentu saja.
Aku masih duduk di bangku yang sama; tak bergeser seberapa pun. Sama pula
cangkir kopiku itu. Hanya mataku, yang memang, tak hentinya bergerak menuruti
ke mana perempuan itu langkahnya mengarah. Aku semacam terpesona. Tapi jika
ungkapan itu terbaca agak berlebihan, katakanlah saja aku tertarik.
Ada satu kali
menoleh ia kepadaku. Kali kedua dibuatnya lupa diri aku. Sampai
ia palingkan muka, tiada senyum di mukaku yang tampak selain gurat bingung yang
itu pun nyaris tidak. Aku berkata-kata pada kepalaku; kata-kata
pertanyaan, “Mawar jenis apa yang tak
berduri barusan? Bulan mana yang selagi terang telah berdandan?” Lalu ia
menepi dari pandangan; menghilang ditenggelamkan jarak.
Bersama lamunan, bulan
yang asli naik tinggi tapi tak kupandangi. Karena, tetap tak ada jawaban yang
kutemui. Tadi itu kali pertama aku melihatnya. Namun wajahnya terekam jelas
lewat mataku entah mengapa; tersimpan rapi di otakku entah di mana. Aku ingin
ada yang menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Lebih baik lagi, perempuan itu
menjawab sendiri lewat bibirnya yang seindah bibir pantai impian pengantin
baru. Tapi apa daya? Ia tak tinggalkan nama, bahkan tidak harum aromanya. Harapanku,
andai pun di taman itu ia tak dua kali berlalu, sudilah kiranya ia bertamu saat
aku tidur; menemaniku sampai bumi basah dicium embun. Di dalam mimpi, mauku ia
dan apa pun ketidakmungkinan melebur.
Terpesona Bunga
Menujumu rembulan t’lah s’ribu kali merayu
Mentari ‘tuk pulang ke rumah
Menujumu butuh banyak waktu
Pikirkanku seperti menguras habis akalmu
Kering otakmu tanpa logika
Pikirkanku tundukkan nalarmu
Andai nanti kelopakku layu
Engkau tetap kupu-kupu
Sampai nanti hinggap di daunmu
Tuhan, cabut saja sayapku
Khayalkanmu sesulit menuliskan sebuah lagu
Kosong otakku tak kenal nada
Khayalkanmu penjara imajiku
…
“Menunggu adalah tentang waktu. Waktu
adalah tentang angka. Angka adalah tentang matematika. Sayang, matematika kerap
terlalu rumit.”
A
|
ku tetap tak
temukan jawabanku. Kendati berhari-hari telah pergi; bermalam-malam telah
tenggelam, bulan tak kunjung membawanya serta, perempuan pengusik kepala, ke
dalam bangun dan tidurku. Beberapa kali kuhela nafas panjang. Sudah pasti
pertanda putus asa mulai mendekat datang. Gairah yang terbakar barang mungkin
sudah jadi arang. Tapi tak patah kali itu. Belum, setidaknya. Aku putuskan
menemukannya lewat mencari sebab tak ada yang lebih hina dari menunggu tanpa
berpasti. Di taman itu, setiap pagi aku berlomba dengan kupu-kupu siapa yang dapati
bunganya terlebih dahulu. Sepahamku tak ada yang kebetulan, jadi terus ia
kutunggukan dalam duduk bertopang keyakinan. Tapi, tak tahu harus menulis
‘sayang’ atau ‘malang’ bunga yang kumaksud tak jua datang. Perempuan itu masih
hilang dalam tenang. Padahal habis sudah jari kupakai menghitung penungguan. “Hah!” Benar memang dikata orang bahwa kesempatan jarang dua kali datang.
Tertunduk kepalaku kepalang malang.
Hari-hari
berlanjut. Khayalan tentangnya tambah menyerabut. Semakin tak sadar, seolah
sepasang sayap menumbuhi punggungku disusul dua antena dari kepalaku. Aku
tetiba haus nektar lalu mencari obat dahaga pada putik dari bunga yang tentu
saja mauku perempuan di taman pagi itu. Ia masih tak diketemukan. Aku menutup
mata berpesan pada Tuhan. Bila pun nanti kami dipertemukan, aku rela jadi
kupu-kupu yang copot sayapnya agar ia jadi bunga terakhir tempat aku
menggantungkan segala harap; segala dahaga yang merayap.
Di dalam pejam,
banyak skenario yang ku-drama-kan tentang, katakanlah kisah cinta, sepasang
manusia yang saling tak kenal. Namun, kian tak sebentar, semuanya kian
redup. Membayangkannya yang semula
begitu mudah, jadi begitu sulit. Wajahnya samar teringat. Seperti ada virus
yang menyelinap masuk ke pusat kerja otakku lalu diam-diam mencuri datanya atau
mengubahnya dari ada menjadi tiada. Tak pernah kubayangkan mencipta lagu tanpa
mengenal nada. Sama bodohnya seperti itu.
Tuhan Maha Romantis
Bukan, bukan…
Bukan tiada inginku mencari pelabuhan lain selain
dirimu
Hanya hatiku masih tercuri
Tak dikembalikan
Tak dikembalikan
Bukan, bukan…
Bukan tiada sanggupku menyemai benih bunga lain
selain hatimu
Hanya wangimu masih selimuti
Belum hendak hilang
Belum hendak hilang
Tuhan Maha Romantis
Dianginkannya engkau di hatiku yang kekeringan
Tuhan Maha Romantis
Disepertikannya kau terang di hatiku yang
kegelapan
…
“Dari sekian banyak manusia, berjuta
hitungannya, kita yang dipersuakan. Lalu bagian mana dari kebetulan yang ambil
bagian? Ini Tuhan, Pujaan.”
R
|
iuh rendah kokok
ayam menyadarkan dari pejam. Kokok parau penanda pagi yang kepagian. Entah
mengapa masih tanpa kicau. Aku tetap tak hirau sebab, terang saja, terpukau.
Lalu, samar seperti terdengar bisikan di telinga kanan; bisikan tentang
mengakhiri penantian, membunuhi harapan, menghapusi khayalan. “Tapi bagaimana mengakhiri yang belum
dimulai? Bagaimana membunuh yang belum dilahirkan? Bagaimana menghapus yang
belum tertulis?”
Beruntung gundah itu
tak lama. Tuhan, dengan nama dan adab sembah yang bagaimana pun, benar adanya
maha segala-gala; tak kecuali maha romantis. Itu hari, hatiku yang kerontang
gersang oleh kemarau penungguan dan pencarian dengan mudahnya Ia ber-angin-kan. Adalah perempuan itu, yang di taman waktu lalu, yang jadi siutnya. Sebuah dunia tak nyata, persegi
awam rupanya, mempertemukan kami tanpa rencana. Seketika harapan yang mulai
mati bak ditiupkan nyawa kedua. Di sana, kami mulai bertukar sapa sampai
akhirnya bercakap-cakap tak mesra lewat jari dan jari saja.
Bahasa jemari
makin intim hanya saja alasan bagi mata bertemu mata masih minim. Namun,
akhirnya, sehabis begitu lama, 26 Desember 2012 kami sungguh diperjumpakan
dalam satu jajar pandang di antara pepohonan natal yang sedang
rindang-rindangnya. “Amboi!” Rambutnya yang
dihembus angin, aku yang rasa sejuk-teduhnya. Ia lagi-lagi menatap
ke arahku dengan tatapan serupa peluru. Rasanya seperti jantung dirobek-robek
hingga tercekat nafasku. Perempuan itu, yang muncul di antara bunga-bunga dulu;
yang meracun mimpi selalu, Amira namanya.
Bertepatan hari
itu, berbungkus-bungkus kado tersusun rapi di rumahku, di bawah pohon rendah
berhias biji-biji lampu. Hanya semua seakan palsu kecuali satu. Tuhan, lewat
takdir-Nya, khusus menghadiahiku sekado yang tanpa pita,
berdiri cantik di muka mata. Sembari tersenyum, kubiarkan ragaku menikmatinya. “Tuhan Maha Romantis, Amira. Disepertikannya engkau terang di hatiku yang
kegelapan.”
Gadis Pas-Pasan
Aku penyuka engkau sederhana berbedak
Aku penyuka engkau bergincu nyaris tidak
Tiada yang engkau lebihkan
Secantik kau diciptakan
Aku menyuka engkau yang lahap saat makan
Aku menyuka engkau hampir tanpa wangian
Tiada yang engkau lebihkan
Namun mataku tertawan
Gadis Pas-Pasan tak berteman riasan
Wajarlah sukaimu
Matamu peluru muara perindu
Gadis Pas-Pasan seadanya menawan
Wajar jatuh hatiku
Namunku tak mampu jatuhku terlalu
Aku terpikat engkau nyanyikan apa saja
Aku terpikat engkau pada segala warna
Tiada yang engkau lebihkan
Sempurna kau diturunkan
…
“Manusia selalu bisa jatuh hati meski
dalam buta. Cinta, rasa yang melekat di semua indera.”
I
|
a dan aku, kami,
semakin dekat dalam jarak; semakin akrab dalam tawa yang bergelak. Dari situ, setiap senyum dari sepasang bibir pucat pasinya terus
kunikmati. Umpama memandangi kelopak melati yang tak perlu jadi merah atau
kuning atau nila untuk terlihat indah.
Sesekali kudapati
bayanganku memantul dari sedikit bagian wajahnya yang mengkilap tak tersapu
bedak. Terbaca sedikit menggelikan, mungkin. Perempuan itu, Amira, berias
seadanya saja; pas-pas saja. Mungkin karena tahu persis ia telah sebegitu cantik
dalam ciptaan atau, mungkin juga, sebab ia sadar bahwa sebaik-baik anugerah
adalah apa saja yang Tuhan komposisikan. Entahlah. Aku
hanya tak ingin pungkiri bahwa ia memang memikat dengan atau tanpa riasan
menempeli mukanya.
Tapi yang paling
menghanyutkan belum terjadi. Ada satu kesempatan pertemuan, ia tampil di mukaku
sedikit berlebihan. Bibirnya agak tebal kemerahan. Pipinya terlihat merona, tak
tahu habis berapa pemerah pipi ia sapu atau
memang karena sedang tersipu, yang tentu ia lebih menawan dari biasanya. Ia
menyambutku dengan senyuman kecil, berjalan ke depan, menuju aku yang
terperangah setengah percaya ia adalah Amira yang kukenal.
Rupanya itu belum
seberapa. Rupa-rupanya tak cukup hanya mataku yang ia jerat, telingaku juga.
Amira tak jarang bernyanyi. Itu terjadi berulang-ulang kali. Namun yang paling
menjejakkan kesan ialah saat dimanjakannya telingaku yang acapkali lelah mendengar
gerutuan-gerutuan, keluhan-keluhan, dengan sebuah lagu kesukaan. Aku benar
sedang jatuh hati. Aku hanya belum punya cukup nyali. Tapi, semengertiku, Tuhan
rahasiakan sesuatu di balik tiap tetesan hujan seperti Ia sembunyikan sebegitu
baik rahasia-rahasia di balik sorot mata perempuan. Maka itu tak kuungkapkan. Takutku
hatinya belum jatuh, masih tinggi.
Aku jalani beratus
hari menerka-nerka sebisa mungkin lewat mata isi hatinya tanpa berkata, sungkan
bertanya. Pernah memang beberapa kali kudapati dari sorot matanya ia pun sedang
jatuhkan cintanya padaku. Tapi lakunya tak begitu. Tak sekali pun pernah ia
beri tunjuk perlakuan seorang insan yang sedang menikmati badai asmara padaku. Seketika
aku teringat perkataan Bapakku bahwa laki-laki harus memulai sesuatu lebih
dulu. Aku pun begitu; tak ingin lebih lama mengibaratkan kami seperti dua ekor
burung yang setiap pagi bercengkrama pada dahan yang sama tapi pulang tidak
pada satu sarang. Menurutku ada yang mesti kami ikat. Biarlah hanya sesaat.
Setidaknya ada kenangan yang kelak akan melekat dan terus diingat.
Setelah nyali
kukumpulkan, malu kuketepikan, cinta kutanyakan. Ia lalu memberi jawaban persis
seperti yang pernah kubayangkan. Hatinya pun jatuh. Hanya, ia terlalu takut membiarkannya terikat. Perempuanku yang pas-pasan
termakan bicara orang tentang neraka cinta dalam perbedaan.Kendati sebenarnya
ada banyak yang sanggup kujelaskan tapi buah kecewa telah kandung kumakan.
Perempuan Hati Peluru
Di antara mata, berjuta yang ada, kau sungguh
berbeda; menatap biasa
Tapi jerat pandangku
Rajutkan hayalanku
Di tengah bicara, tajam bagai panah, kau berdiam
saja; tak berkata-kata
Tapi pikat hatiku
Ranumkan harapanku
Perempuan Hati Peluru, secepat itukah jatuhkanku?
Aku bahkan belum berdiri
Tapi t’lah kehilangan kaki
Perempuan Hati Peluru, semudah itukah membunuhku?
Aku bahkan belum terlahir
Tapi lebih dulu tersingkir
…
"Agama tidak bisa mengatur
saat seseorang itu jatuh cinta. Cinta jatuh di mana pun ia mau."
-Beda Tapi Cinta-
A
|
mira dan
keragu-raguan bagai telinga dan suara; sukar dipisahkan. Selepas hari cinta
kami bincangkan, aku tak lantas diam. Berulang-ulang kali ia coba kuyakinkan,
berulang-ulang kali pula ia persoalkan keyakinan. Padahal, di negaraku, yang
disebut keyakinan awamnya adalah warisan bapak dan ibu. Mereka yang memilih
hanya mereka yang terpilih. Selebihnya akan terus mengimani sampai rambut
memutih dan berbungkus kain putih. Tapi, betul adanya bila hidup memang kadang
seperti perlombaan di mana orang lain mengambil peran sebagai pengadil yang
memberi penilaian dan menjatuhkan hukuman seolah kaki tangan Tuhan. Ironis
memang. Tapi dunia, menurut sebagian pemuja nada, adalah panggung sandiwara.
Mungkin aku sedang memainkan sebuah pertunjukkan yang buruk, menurut orang
lain.
“Mengapa manusia mempermasalahkan perbedaan
sedang Tuhan menciptakan laki-laki untuk perempuan dan berlaku kebalikan?” Aku bertanya. Ia
jawab hanya dengan menatap.“Ah!” Ingin
rasanya ia kubawa ke tengah hutan lalu sebuah gubuk sederhana kubuatkan. Biar
kami tinggal hanya berdua. Biar kami mendengar hanya anjing dan lain-lain binatang
yang bicara. Sebab mereka tak pernah akan usil soal agama. Sebab mereka paham benar
iman hanyalah perkara apa yang kita percaya.
Hati-hati! Hati
memang tak lebih dari segumpal darah berukuran kepal tangan Bapakku. Tapi
memecahkan perkaranya terang saja tak semudah itu. Kubujuk Amira untuk menutup
mata dan biarkan aku jadi penuntun langkahnya. Saat ia bersedia, bising
bicara orang lebih lantang dari biasa. Mereka teriaki kami tiada pujian selain
cacian; tiada dukungan selain kungkungan. Kemudian kupinta ia tutup telinga.
Saat ia ingin tak mendengar, malah matanya yang terluka tersuguhi
kenyataan-kenyataan tentang derita siapa saja penanam benih cinta pada dua sisi
aliran sungai seperti kami; mereka-mereka yang mati sebelum sempat melihat
benih itu berbunga. Dan, ia menggeleng.
Ada gempa di hatiku.
Amira membunuhku; membunuh hati yang terpikat oleh matanya yang menatap biasa
saja; yang terjerat oleh bahasa yang hampir tak ada. Adakah harapan-harapan
lalu adalah palsu? Tidak! Ia bukan pembunuh. Sedari awal ini jelas bunuh diri.
Aku telah hilang kaki sebelum berdiri atau tersingkir sebelum lahir.
Perasaan kami
seperti terperosok dalam palung kebingungan berisi gaung-gaung kemungkinan yang
menjebak. Hanya ‘yakin’ kami yang tak bergerak terbendung tembok pemisah yang
mengakar tinggi tegak. Mereka panggil itu agama namanya. Lalu, berdasar amat
banyak pertimbangan pula kesiapan bertemankan kesepian dan penyesalan, ia
kutinggalkan. Kuberi ruang kupu-kupu lain, yang lebih lebar sayapnya, untuk
hinggap dan menetap. Sebutlah aku pengecut!
Romansa Manusia
Nyanyikanlah untukku senandung pikatmu
Di bawah rimbun perdu
Jemputkan nyenyakku
Kau piara doa-doa dosa
Kau piara pelita
Dongengkanlah, Pujaan, romansa manusia
Di batas rumah Tuhan
Dinding tanpa jalan
Lukiskanlah untukku rimba di tawamu
Di muka senyum Ibu
Lengkapkan surgaku
Kau piara doa-doa dosa
Kau piara pelita
Dongengkanlah, Pujaan, romansa manusia
Di batas rumah Tuhan
Dinding tanpa jalan
Puisikan, Pujaan, sajak perpisahan
Di kernyit dahi insan
Tentang perempuan
…
“Jangan sepasang insan berpuisi di bawah
hujan atau kelak mereka tak akan saling tahu tentang tangisan yang
disembunyikan.”
D
|
alam sepi dan
pilu hati, rindu menjelma jadi belati; mengiris-iris si urat nadi; menyakiti
menjadi-jadi. Aku yang berharap cinta perlahan mati nyatanya tak benar sama sekali. Semakin lewat hari dan hari, dari dalam kepalaku ia tak
kunjung pergi. Aku lari bukan lari. Jurang pembeda, sebesar apa pun itu, tentu
mampu kuseberangi. Aku hanya berpikir untuk apa bermandikan keringat mengupayai
andai di sisi lain sana tak ada yang sudi menanti. Itu tak kurang dari bunuh
diri. Aku takut di neraka nanti oleh api aku dijilati.
Bunyi-bunyi yang
tiada, ramai-ramai yang tak nyata selalu menemaniku sejak saat itu; saat kami
putuskan saling merelakan genggaman pada keputusasaan. Berserah takdir pada
Tuhan? Bukan! Lebih mirip keledai-keledai dungu yang tetap makan semasa dikejar
macan.
Yang di
pikiranku, kisah ini seperti dongeng-dongeng yang sering digunjingkan orang-orangtua
dari dalam buku-buku penuh debu atau dari layar kaca. Kisah romansa sepasang
pewaris tahta dari dua kerajaan yang berbeda yang saling tak sepaham. Hanya
saja tiada perang dan pedang di sini, di kisah kami. Bisa pula cerita tentang
kisah cinta beda kasta antara seorang lelaki buruh kerja dan puteri raja nan
cantik jelita. Tapi sejauh yang kudengar, dongeng itu selalu berakhir dengan
kesukaan. Dua kerajaan bersanding dalam ketidaksepengertianan. Sayang,dongeng
hanya buaian bualan-bualan. Dalam kenyataan tentu tak akan semudah pengharapan.
Setiap waktu-waktu
yang lalu bersama Amira tak mau begitu saja lenyap dimakan hari kubiarkan.
Kutuliskan semuanya, setiap detilnya, dari senyumnya yang pertama hingga senyum
terakhirnya yang memenjara, untuk di kemudian kesempatan kubaca lagi. Kupuisikan
seperlunya, kulagukan beberapa; berharap suatu waktu seseorang menyanyikannya
meski sembari tak tahu apa-apa. Ironis! Aku sampai-sampai
lupa bahwa sebetulnya aku sedang mencoba untuk lupa. Aku tak ingat kalau aku
tak ingin terus mengingat. Sepengertianku, salahku adalah hatiku jatuh
keterlaluan. Mungkin juga sayap harapanku terbang ketinggian.
Halte Usang & Seorang Bujang
Sebuah halte usang tempat menunggu
Duduk s’orang bujang menggenggam rindu
Kekasih hatinya tak datang
Gemetar bujang bertahan
Sebuah halte usang gudang harapan
Hanyutkan kenangan terguyur hujan
Kekasih hatinya belum datang
Tersapu angin menghilang
Menanti ia pada siang
Tak henti walau hilang terang
Merpatinya t’lah jauh terbang
Melangit tanpa terpandang
Sebuah halte usang tempat menunggu
Terduduk s’orang bujang masih merindu
Kekasih hatinya takkan datang
Sebab t’lah didekap orang
Kekasihnya tak akan datang
Sebab t’lah didekap orang
Kekasihnya tak akan datang
Sebab t’lah didekap orang
…
“Ia, yang pergi lagi, mungkin tak pernah
benar-benar datang. Ia, yang datang lagi, tentu tak pernah benar-benar pergi.”
E
|
nggan beraniku
untuk bertemu bertamu, jadi yang kulakukan cukup menunggu; menunggu yang aku juga
tak tahu. Mungkin kembalinya ia yang kutunggu. Atau, terjeratnya
lagi aku pada sosok perempuan lain yang melintas dan membuat diri rela terpaku.
Keputusan waktu itu
anggaplah badai yang memporak-porandakan kami berdua; menyisakan duka dan
deritanya. Tapi laki-laki adalah laut, sedang perempuan seperti perahu layar
yang menggantungkan harap pada cuaca. Maka itu aku diam; duduk gemetar pada
bangku kenangan yang bertambah usang sembari menggenggam erat-erat rindu yang
bahkan sebelah tangan pun bertepuk tak mampu. Kubiarkan ombak
leluasa mengombang-ambing. Ke mana arahnya tak lagi penting sebab mungkin saja
lebih baik aku berakhir sinting. Barangkali memang perlu lebih dari kata
‘kasihan’ agar keadaan ini mampu dengan jelas kugambarkan.
Selama
penungguan, waktu datang bagai sekawanan rinai hujan. Semakin lama diam,
semakin deras turun menyerbu. Digenanginya keterpurukanku. Dihanyutkannya
harapanku jauh-jauh. Mereka seperti berkata, “Hei, Kau, Bujang Tak Berteman, apalah lagi yang kau tunggui? Ia tak
akan datang lagi. Ia bahkan tak pernah tahu ada yang menanti.” Rasanya ingin
murka aku pada pikiranku sendiri. Tapi ia jelas belum pasti salah. Amira yang
jauh luput dari mata mungkin saja sedang tersenyum menulisi cerita anyar
bersama seorang pria yang keberuntungannya lebih kekar. Dan, celakanya,
ternyata itu benar. Dari sebuah kabar yang mungkin disampaikan burung pada seseorang,
seorang teman membunuhku; harapanku, lebih tepatnya. Seorang laki-laki telah di
sana, duduk di tempat yang mau tak mau dulu harus kutinggalkan. Wajar terbaca
memang. Sebagai perahu layar, ia tentu harus tegar di hadapan ombak. Ia harus
tetap mendermaga atau kehabisan tenaga lalu berakhir tenggelam bersama lukanya yang
akan kian memedih. Saat aku ingin pulang, rumahku disita orang. Waktu. Ia
adalah kesombongan yang paling sombong; yang selalu
ditunggu tanpa pernah akan menunggu; yang selalu menemaniku dan
sekaligus membunuhku.
Lapar Mata
Nanti, saat kita sudah menautkan janji disaksikan Tuhan, butakan
mataku
Nanti, saat hanya namamu di denyutan nadi,
bisikkan pada Tuhan tulikan telingaku
Tak ingin kumelihat
Tak ingin kumendengar
Karena melihat adalah kelaparan yang sesungguhnya
Aku memilih buta agar tak lagi terpana
Karena mendengar adalah kehausan yang
sesungguhnya
Aku tak mau tergoda hijaunya rumput tetangga
Karena kupunyamu
Karena kupunyamu
Karena kupunyamu
Nanti, saat kita lelap berlangitkan bumi
…
T
|
akdir adalah
benar adanya rahasia di atas rahasia. Berpuluh-puluh pilu berlalu. Setahun lewat. Lalu tujuh bulan lagi. Kemudian tiga puluh kurang satu
hari. Saat itu kuputuskan sebenar-benarnya berhenti. Apa-apa tentang perempuan
yang hatinya peluru itu biar saja kusimpan rapi. Aku mau ia sedapatnya akan
terkenang sebab tentu tak ada kenangan yang mampu diulang kecuali merelakan
bibir mata tergenang. Cukuplah. Kali ini telah tak ada lagi luka.
Aku senang badai
telah hilang. Aku tenang ia telah senang. Hari-hari yang lewat, jelas akan
kuingat. Aku hanya lupa satu hal; sering waktu ada pelangi setelah badai pulang
ke peraduannya. Dan, benar saja. Bersama dengan tenangnya cuaca hati, ada
pelangi mendekat mendatangi. Tapi itu hanya untukku seorang. Tepat di mataku,
ia berpendar.
Amira juga
rupa-rupanya terus menanti; menanti untuk, dengan hati yang lebih kuat, datang
lagi. Hari itu ia yakin sepenuhnya. Ia bawa semuanya. Bahkan masih terlalu
banyak sehabis ia membagikannya padaku. Aku tahu ia tengah pasrah; memasrahkan
hatinya. Yang sebegitu lama tinggal di mimpiku, hari itu bangun dari tidurnya.
Aku seperti ingin tak lagi lelap agar tak ada mimpi yang lebih indah. Aku
seperti ingin buta agar tak melihat yang lebih memukau. Aku seperti ingin tuli
agar tak ada lagi ragu bermain di daun telinga.
Amira
Sudah terlalu lama mereka menikmati jadi hakim
kita; sutradara kita
Mungkin sudah waktunya naskah kita buka tentukan
tokoh kita; hargai hati kita
Tutup telinga, Amira
Mendengarlah dengan dada
Biar getar yang bicara
Kata-kata, suara-suara membunuh kita
Takdir di depan, Amira
Esok masih rahasia
Mereka bukan siapa-siapa
Jika benar dunia panggung sandiwara, berperanlah
kita
Demi kisah kita
…
“Jika benar dunia panggung sandiwara,
maka sudah tentu Tuhan yang Maha Sutradara.”
A
|
ku Wendi. Khusus
di bagian ini, sengaja tak kutulis banyak kecuali terima kasih pada ia, Amira,
yang selalu menyisakan cerita untuk kuceritakan lagi bagaimana pun bentuknya.
Grand Sierra Resort Casino & Spa - MapYRO
BalasHapusSearch for 전라북도 출장샵 Grand Sierra 논산 출장안마 Resort Casino & Spa in Wyandotte, NY, USA with 용인 출장마사지 MapYRO. Grand 삼척 출장샵 Sierra Resort Casino and Spa is located 광명 출장안마 in Wyandotte, NY and is open daily 24 hours.